Tags

, , , , , ,

Main Cast : Lee Sungmin/Kwan Chaekyo(OC)

Other Cast : blablabla

Genre : Romance

Rate : R for Remaja <– Indonesia banget XD

aaaah annyeoong :3

FF baru yang bisa dibilang udah lama, kenapa? karena ff ini udah lama banget ada di draft dan nggak pernah diterusin, akhirnya.. AKHIRNYA! Ada yang nerusin! XD

Jadi ff ini dibuat oleh Lee Sungra aka Aufa :3 gimana caranya dia nerusin ni FF? yaah begitulah XD

yang bagian awal masih saya yang buat -sampe Kwan’s House kalo nggak salah, setengahnya malah-, tapi itu dikit banget! *author nggak bertanggung jawab* dan diteruskanlah oleh ide Sungra :3

So, Enjoy!

Hope you’ll like it! ^^

**Restaurant**

@6PM

Chaekyo Pov

Aku benci keadaanku sekarang. Entah siapa yang harus aku salahkan, aku hanya membenci keadaanku sekarang. Tidak, aku tidak bisa menyalahkan ketiga dongsaengku atas kembalinya penyakit asmaku ini. Ini bukan salah Sungra yang dekat dengan Taemin, bukan salah Raena yang kekasih Kyuhyun, bukan juga salah Hyunjoon yang sudah kembali dengan Chanmgin. Lalu apa?

Aku menatap bunga matahari yang baru saja diberikan oleh seseorang tadi. Lee Sungmin. Entah apa maksudnya memberikan bunga ini setiap hari. Dan perasaanku ketika menerima bunga ini.. entahlah, semu. Aku meletakkan bunga itu di dalam loker kamar gantiku dan kembali berhadapan dengan pekerjaanku. Sungra baru datang dan aku harap dengan ini pikiranku dapat lebih tenang.

Sesekali aku melirik Sungra yang berada di sampingku. Sungra terus fokus pada masakannya, sedangkan aku hanya berpura-pura fokus. Wajah anak ini terlihat selalu bahagia, apalagi semenjak bertemu langsung dengan magnae SHINee itu. Waktu itu.. aku meninggalkan mereka berdua di sini bukan tanpa alasan. Bukan karena aku sengaja membiarkan mereka berdua, aku hanya ingin menghindari sesuatu yang.. bisa membuatku mengingat orang itu lagi.

“Chaechagiya! Masakanmu daebak!”

“Jinja oppa? Woaa gomawoyo~ Akan aku masakkan makanan enak untukmu setiap hari!”

“Kalau begitu kau harus bersamaku selamanya, oke? Tidak ada alasan untuk tidak menjadi milikku, hhehe”

Aish! Sesak ini kembali lagi. Lupakan Chaekyo! Berhenti mengingatnya! Jangan memancing penyakitmu sendiri!

“Yobosaeyo?” Aku melirik Sungra yang baru saja menerima telepon dari seseorang. Aku bisa mendengar suaranya walaupun dia berbicara pelan. Ah, aku tahu siapa yang menelepon kalau begini. Gara-gara aku pernah memintanya untuk menjauhi Taemin secara tiba-tiba waktu itu, dia sedikit berhati-hati padaku. Aku mensugesti diriku sendiri untuk tidak mendengar pembicaraan Sungra, tapi pembicaraan mereka tetap saja terdengar.

“Kau masih di Jepang?”

“Oh arasseo.. Bagaimana kabarmu?” Ini dia. Chaekyo, jangan dengar.

“Sebentar lagi pulang ya?” Chaekyo, kendalikan dirimu.

“Kau kangen dengan masakanku? Jangan bercanda Min-ah..”

Ini sama sekali tidak baik. Nafasku mulai tidak beraturan, sial.

Raena Pov

**Raena’s Apartement**

“Chagiya~ kira-kira usahaku itu sudah cukup atau belum? Aku merasa kurang..”

“Oppa, aku sudah bilang berkali-kali, aku tidak tahuuu.. dan hei! Berhenti memanggilku chagiya!”

“Aish, kau kan sahabatnya chagi.. Pokoknya aku akan mencoba terus!”

“Aah.. terserah oppa sajalah..”

Klik!

Dasar, masih saja bandel. Apa Sungmin oppa sangat menyukai Chaekyo sampai-sampai tidak peduli walaupun sudah dicampakkan berkali-kali? Chaekyo juga jadi sering marah padaku gara-gara ulang Sungmin oppa yang selalu mengunjungi dapur restoran setiap hari -_-

Aish, sebenarnya aku sangat mendukung Sungmin oppa untuk mendekati Chaekyo, tapi masalahnya ada pada Chaekyo. Aku semakin khawatir padanya akhir-akhir ini. Sungra pernah bercerita padaku kalau Chaekyo menyuruhnya untuk menjauhi Taemin, dan saat mengatakan itu Chaekyo menangis. Sungra juga bilang kalau asma Chaekyo sering kambuh, untunglah di sana ada Hyunjoon. Apa dia itu tidak bisa berpikir positif seperti Hyunjoon pada Changmin? Kenapa pikirannya selalu negatif tentang namja itu? Aku rasa namja itu tidak mungkin memutuskan hubungannya dengan Chaekyo tanpa alasan. Ditambah lagi, mereka berpisah saat namja itu harus debut. Jangan-jangan penyebabnya..

Drrtt.. drrtt..

Dari Sungra? Perasaanku tidak enak.

“Yobo–”

“Onnie! Chaekyo onnie! Chaekyo onnie! Asmanya!” Terdengar suara Sungra yang sangat panik. Kambuh lagi?

“Hyunjoon mana? Jinjoo oppa?”

“Hyunjoon onnie masih kuliah! Jinjoo oppa tadi keluar entah kemana! Onnie ottokhe?”

“Periksa tasnya! Cari obat yang diberikan Hyunjoon kemarin! Aku akan kesana secepatnya!”

**Restaurant**

“Sungra-ah!” Aku langsung memasuki dapur sambil berlari. Hanya ada Sungra di sini, dimana Chaekyo?

“Jinjoo oppa baru saja membawa Chaekyo onnie pulang.. Onnie kenapa lambat sekali dataaang~ aku kebingungan daritadi, untung saja Jaemi juga menderita asma, jadi bisa membantu..” Oceh Sungra panjang. Haah aku jadi tidak enak hati dengannya. Eh, tunggu.. kalau asma Chaekyo kumat lagi, pasti ada penyebabnya.

“Ra-ah.. Apa terjadi sesuatu pada Chaekyo sebelum asmanya kambuh?” Sungra terlihat berpikir sejenak, lalu menggelengkan kepalanya.

“Tidak ada onnie, dia hanya konsentrasi pada masakannya tadi..” Tidak ada? Lalu kenapa bisa kambuh? Dia memang alergi debu, tapi aku yakin dia tadi tak sedang berada dalam keadaan dimana asmanya bisa kambuh karena alerginya itu. Satu-satunya ya.. itu.. namja itu..

“Mungkin membicarakan sesuatu?” Sungra berpikir lagi. Kali ini agak lama, apa sih yang dipikirkannya? ‘~’

“Tidak ada juga.. Chaekyo onnie tadi sibuk memasak.. Apa karena aku tidak membantunya ya? Hmm.. Taemin harus disalahkan!”

“Tunggu! Taemin?” Sungra mengangguk semangat dan yaaah cengiran lebar terpampang di wajahnya sekarang. Aigoo.. pantas saja asmanya Chaekyo kambuh lagi..

“Taemin meneleponmu? Apa yang kalian bicarakan?” Sungra sedikit kikuk ketika ingin menjawab pertanyaanku yang satu ini. Jangan bilang kalau mereka membicarakan tentang hal-hal yang.. apa ya?

“Taemin cuma bilang kalau dia kembali dari Jepang nanti, dia akan langsung mengunjungiku disini lalu memberikan hadiah! Hehhehe..” Aii sepertinya anak ini bahagia sekali. Aku mulai membandingkan cerita Sungra dengan pengalaman Chaekyo.. hmm.. hampir sama.

“Mm.. Sungra~ Kau bisa –“

“Araa.. Aku bisa mengurus dapur sendiri kok, dasar! Nada bicara onnie itu sudah bisa ditebak tahu! Mau mengunjungi Chaekyo onnie kan?” Aah bocah *ditendang ini memang mengerti segala hal! Hhehhe..

“Ne~ Gomawo Ra-ah.. Aku pergi dulu, annyeong~”

**Kwan’s House**

Aku baru saja sampai kekediaman Chaekyo dan Jinjoo oppa. Baru saja ingin mengetuk pintu rumah itu, pintu sudah terbuka dan ternyata itu Jinjoo oppa, lengkap dengan pakaian kerjanya.

“Ah! Kebetulan sekali! Aku ingin kembali lagi ke restoran, kau jaga anak bandel hobi galau itu! Aku heran kenapa dia senang sekali menyimpan kenangan negatif! Apa susahnya melupakan namja itu dan mencari namja lain? Kalau aku jadi dia, aku- AW! YA! KAKIKU!” Aku sengaja menginjak kaki Jinjoo oppa agar dia berhenti berbicara. Kalau tidak dihentikan bisa-bisa tujuanku ke sini tidak terlaksana =_=”

“Arasseo arasseo~ Restoran menunggumu oppa.. byee~” Aku mesuk ke dalam rumah dan langsung mendorong Jinjoo oppa keluar. Biarlah dia mengoceh panjang lebar, yang penting aku tidak mendengarnya dari dalam sini.

Aku langsung menuju kamar Chaekyo yang memang sudah aku ketahui letaknya. Tanpa mengetuk lagi aku langsung masuk dan tidak seperti dugaanku, Chaekyo ternyata tidak sedang tidur, dia sedang duduk di atas kasurnya sambil memandangi langit lewat jendela kamarnya.

“Serius sekali melamunnya,” Chaekyo mengalihkan pandangannya sejenak dari jendelanya untuk melihatku, kuterangkan, hanya sejenak. Aku merapatkan pintu kamarnya, ada kemungkinan kami akan berdebat kali ini dan aku kasihan dengan ‘pengurus’ rumah ini kalau mendengar perdebatan kami.

“Kau datang, ada perlu apa?” tanya Chaekyo dingin tanpa mengalihkan pandangannya ke luar. Aku mendekatinya dan langsung duduk dipinggiran kasurnya. Semenjak aku mengizinkan Hyunjoon pergi dengan Changmin, hubunganku dan Chaekyo merenggang. Alasannya? Dia khawatir dengan Hyunjoon dan Chaekyo bilang aku akan menyebabkan Hyunjoon sakit hati.

“Aku mengkhawatirkanmu, memangnya tidak boleh?” jawabku, berusaha menjaga intonasiku agar tidak ikut terpancing emosi.

“Sudah minum obat? Masih sesak?” Chaekyo menghela nafas. Aku tahu kalau dia sudah mulai ‘melunak’.

“Sudah tidak lagi.”

Kami diam dalam pikiran masing-masing, aku membiarkannya melamun dan memandangi langit seperti saat aku masuk ke kamarnya tadi.

“Kenapa asmamu kambuh lagi? Karena Sungra?” tanyaku hati-hati. Bahunya tampak tegang sesaat sebelum akhirnya rileks kembali.

“Bukan sepenuhnya salahnya, tapi sedikit-banyak… ya. Pembicaraan Sungra di telepon tadi mengingatkanku pada dia…” gumam Chaekyo pelan, tapi tidak cukup pelan untuk tidak terdengar oleh telingaku.

“Aku… aku takut Sungra akan mengalami hal yang sama denganku. Dia masih kecil. Polos, bocah. Setahuku dia belum pernah pacaran, maksudku, berhubungan dekat dengan seorang namja, kan? Terlalu riskan kalau dia langsung dekat dengan seorang artis seperti Taemin. Aku tidak mau ia trauma sepertiku…” Chaekyo menghela napas pelan. Meski ia membelakangiku, aku bisa melihat ia sedang menghapus air matanya dengan punggung tangan. Dan aku lebih memilih diam, menunggunya menyelesaikan semua ceritanya.

“Soal kau, aku tidak mempermasalahkannya. Kau sudah dewasa. Kalau ada apa-apa, jangan salahkan aku. Lalu… Hyunjoon…” Chaekyo berbalik, membuatku bisa melihat sorot matanya yang sayu dan wajah lesunya.

“Dia… sebenarnya aku tidak apa-apa juga kalau dia kembali dengan Changmin. Tapi, si Changmin itu, dia terus-terusan memaksaku untuk menemuinya. Aku sudah menolak, tapi ia terus saja memaksa. Aku tidak mau jatuh untuk kedua kalinya. Sudah terlalu sesak…”

“Kalau begitu, kurasa kau butuh alat bantu pernapasan.” kataku cepat. Chaekyo mengangkat wajahnya.

“Maksudmu?” tanyanya curiga. “Kalau cuma inhaler dan oxy-can, aku juga punya.”

“Bukan yang seperti itu, tapi Sungmin-oppa. Dialah alat bantu pernapasanmu, Chae-ah.”

Chaekyo membelalakkan matanya. “Wae? Waeyo? Kenapa Sungmin?” desisnya.

“Dia baik, Chae-ah, lebih baik dari dia, kurasa. Kau tahu tidak, dia benar-benar serius menyukaimu, Chae-ah…” aku menatap Chaekyo yang sepertinya kesulitan mengatur ekspresinya. Campuran antara salah tingkah dan… sedikit rasa takut? Itu yang kulihat, sih. Tidak tahu benar atau tidak.

“Cobalah lupakan dia. Coba dulu dengan Sungmin-oppa. Kurang serius apa, coba, datang ke restoran tiap hari di tengah jadwalnya yang padat? Lalu menanyakan berbagai hal ke aku dan Kyuhyun sampai kami berdua kewalahan? Sudah begitu, dia masih saja menganggap usahanya itu kurang…” tambahku. Chaekyo masih diam. Aku juga ikut diam, menunggu reaksinya.

“Aku takut Raena-ah… eotteokhae…” ia membenamkan kepalanya di antara lutut dan badannya. Bahunya bergetar halus, menandakan ia sedang terisak.

“Lupakan dia. Itu saja yang kau butuhkan.” aku bergeser mendekatinya dan memeluknya, masih dalam kondisi seperti itu. Setidaknya aku sudah berusaha untuk menenangkannya sedikit. Kubiarkan ia menangis dalam diam, karena aku tahu ia benci kalau ada orang lain yang membujuknya agar berhenti menangis.

Tiba-tiba ponselku berdering keras, membuatku terpaksa melepas pelukanku dari Chaekyo dan mencari benda itu di tas. Kubaca apa yang tertera di layar iPhoneku, Sungmin-oppa Calling…

Oh tidak tidak tidak. Ini saat yang tidak tepat! Bagaimana ini?

Kuputuskan untuk keluar kamar Chaekyo dan menerima panggilan dari Sungmin-oppa. Aish!

“Yobosaeyo! Ada apa Oppa?” tanyaku langsung.
“Eoddiga chagiya? Apa kau sedang bersama Chaekyo? Kenapa ia tak ada di restoran?” namja itu langsung memberondongku dengan segudang pertanyaan. Aish!
“Ne! Aku sedang di rumahnya sekarang. Asmanya kambuh dan ia pulang duluan. Dan sekali lagi, jangan panggil aku dengan panggilan itu!” aku memberi penekanan pada kalimat terakhirku.
“Mwo? Dia sakit? Di mana rumahnya, chagiya? Aku akan kesana!” teriaknya panik. Kalau sudah begini, aku tak bisa memprotes apapun, termasuk panggilannya yang tidak berubah -_- langsung saja aku memberikan alamat rumah Chaekyo padanya. Dan setelah itu, ia langsung memutuskan sambungan telepon tanpa basa-basi. Sialan -_-

Tidak ada seperempat jam setelah Sungmin-oppa menelepon, bel rumah Chaekyo berbunyi. Cepat sekali? Bukannya jarak dari dorm ke daerah tempat tinggal Chaekyo ini lumayan jauh?
Aku langsung berjalan ke arah pintu utama rumah itu dengan antisipasi penuh, dan membukanya perlahan.

“Angel Kim! Mana Chaekyo?” belum sempat aku menyapanya, namja imut ini sudah keburu menanyakan pertanyaan yang sama dengan yang di telepon tadi.

“Ya! Pelankan suaramu! Dia di kamar. Sedang istirahat. Kurasa… lebih baik… jangan mengganggunya dulu…” jelasku cepat. Sungmin-oppa tampak keberatan dengan kalimat terakhirku.

“Kenapa tidak boleh?”

“Kondisinya sedang labil. Kalau kau nekat, bisa-bisa asmanya kambuh lagi. Jangan.”

“Mwo? Omong kosong! Apa hubungannya aku datang mengunjunginya dengan penyakitnya? Eobseo!”

Aissh, namja ini memang benar-benar keras kepala. “Oke, terserah saja. Aku tidak mau tahu ya pokoknya. Kalau kau sampai diusir dari kamarnya, jangan salahkan aku!”

Sungmin mengacuhkan kata-kataku dan berjalan ke arah pintu kamar Chaekyo –yang mudah dikenali, karena ada nama Chaekyo di depan pintunya-. Beberapa langkah sebelum ia mencapai pintu itu…

“Ya.” panggil Sungmin. Aku menoleh, mengangkat alisku ke arahnya.

“Doakan agar aku berhasil.”

***

Sungmin’s POV

Aku mengetuk pintu di depanku perlahan, berharap Chaekyo tidak menanyakan siapa yang mengetuk pintunya, jadi aku bisa langsung masuk tanpa perlu diusir olehnya. Di belakangku, aku bisa merasakan Raena sedang memperhatikanku. Lihat saja Angel Kim, aku pasti bisa meluluhkan hati yeoja itu hari ini.

“Masuk.” terdengar suar Chaekyo dari dalam. Ia tidak bertanya apa-apa, bagus sekali!

Pelan, kubuka pintu kamar Chaekyo. Beruntung Chaekyo sedang membelakangi pintu, jadi peluang diusir-sebelum-berperang semakin mengecil. Berusaha melangkahkan kakiku sepelan mungkin, aku mendekati Chaekyo dan setelah tepat berada di tangannya, langsung kututupi matanya dengan kedua telapak tanganku.

“Ige mwoya? Raena-ah, jangan bercanda!” teriaknya. Hei, apa tanganku tidak terlalu besar untuk ukuran seorang Kim Raena? -_____-”
Karena aku tak juga melepas tanganku dari wajahnya, Chaekyo mulai berusaha melepaskan tanganku. Tangannya bergerak naik ke telapak tanganku, memegangnya, dan entah kenapa aku merasa badannya menegang.

“Kau… bukan Raena…” gumamnya pelan. Sedetik kemudian, ia menarik tanganku dengan kasar dan ia langsung berbalik. Oh tidak, bahaya!

“Lee… Sungmin?” ia langsung mengambil jarak denganku, membuatku ikut mundur karena kaget oleh gerakannya yang tiba-tiba.

“Ah, eh, ne, selamat siang.” sapaku kikuk. Raut wajahnya berubah, antara marah dan… ketakutan?

“Mau apa kau di sini?” tanyanya, suaranya bergetar.

“Aku? Mengunjungimu. Kau sedang sakit, kan?” aku berjalan mendekatinya, dan ia makin mundur ke belakang hingga punggungnya menubruk tembok pelan dan ia tak bisa mengelak lagi. Entah ada setan dari mana, kuulurkan tanganku, bermaksud menyibakkan poni rambutnya yang menutupi wajah demi mengecek kondisinya, tapi…

“Jangan sentuh!” teriaknya sambil menepis tanganku. Gila, sakit juga pukulannya!

“Mwo? Wae? Aku hanya ingin mengecek kondisimu!” lagi-lagi aku mengulurkan tanganku. Sudah terlanjur, sekalian saja kenapa?

“Kubilang jangan sentuh! Pergi! Jangan pernah mendekatiku lagi!” kali ini ia tak hanya berteriak, tapi juga melempar beberapa barang yang ada di dekatnya ke arahku. Ya ampun, ada apa dengan yeoja ini? Ini lebih parah daripada Ryeowook mengamuk karena mabuk!

“Chaekyo-ah, aku tidak bermaksud buruk padamu!” aku masih berkeras mendekatinya, tapi seseorang mencekal lenganku erat. Aku menoleh dan mendapati Raena berada di belakangku. Ia tak tampak marah karena aku menyebabkan segala keributan ini, tapi lebih terlihat… kasihan.

“Oppa, sudah. Sudah cukup. Biarkan Chaekyo istirahat, arra?” bisiknya. Aku menggeleng dan kembali mengalihkan pandanganku ke Chaekyo yang… sudah jatuh terduduk dengan kedua telapak tangan menutupi wajah. Bahunya bergetar pelan. Aku tahu ia menangis, dan refleks aku langsung melepaskan cengkeraman tangan Raena lalu setengah berlari menghampiri Chaekyo di sana. Sempat terpikir untuk memeluk yeoja itu, tapi aku takut. Dia terlihat terlalu ringkih saat ini. Akhirnya aku hanya berjongkok saja di depannya, mengelus rambutnya pelan dengan ritme menenangkan, berharap hal yang kulakukan itu bisa membuatnya agak tenang.

“Uljjimayo… mianhae…” bisikku pelan. Meski aku tidak tahu mengapa ia menangis, tapi tetap saja aku merasa aku bersalah. Chaekyo masih terisak. Ya Tuhan… aku benar-benar ingin memeluknya, bolehkah?

“Pulanglah, pergilah, tolong biarkan aku sendiri…” terdengar gumaman samar di sela isakannya. Aku tercenung. Ia… mengusirku?

“Arra…” dengan berat hati aku bangkit berdiri. Sulit sekali melangkahkan kakiku untuk meninggalkan yeoja ini, tapi mau bagaimana lagi?

Kuhampiri Raena yang masih berdiri di tempatnya tadi. “Raena-ah, titip dia, ya?” aku tersenyum getir, lalu berjalan keluar dari kamar Chaekyo, meninggalkan dua orang itu di dalam. Kurasa lebih baik aku pulang sekarang.

***

Author’s POV

Raena bingung, hendak mendekati Chaekyo yang tengah menangis atau tetap berada di tempatnya. Pada akhirnya, ia mengikuti nalurinya untuk mendekati Chaekyo dan menggantikan Sungmin, berjongkok di depan yeoja itu sembari berusaha menenangkannya.

“Mianhae Chae-ah…” gumam Raena. Chaekyo menarik tangannya dari wajah, dan tanpa mengatakan apa-apa, ia menarik Raena ke dalam pelukannya.

“Peluk aku Rae-ah…” pinta Chaekyo, isakannya belum juga mereda. Raena menuruti perintah yeoja yang sebenarnya lebih tua dua tahun darinya itu dan memeluknya erat, membiarkan yeoja itu menghabiskan tangisannya di dalam pelukannya. Tanpa sadar Raena ikut menitikkan air matanya.

“Mianhae Chae-ah, jeongmal mianhae, jeongmal mianhae…”

“Gwaenchanha Rae-ah, bukan sepenuhnya salahmu, sudahlah…”

**The Next Day, Restaurant**

Chaekyo sudah kembali masuk. Prinsipnya, ia tak ingin kehidupan pribadinya mencampuri masalah pekerjaannya. Sungra juga sudah meminta maaf padanya tadi, dan ditanggapinya dengan santai dengan caranya yang biasa. Sementara itu, Hyunjoon kembali memastikan obat-obatan yang perlu dikonsumsi oleh Chaekyo, sedangkan Jinjoo bersikap seperti biasa. Mungkin gengsi menunjukkan perhatiannya pada yeodongsaeng satu-satunya itu.

“Onnie mianhaeeee~” lagi-lagi Sungra meminta maaf pada Chaekyo.

“Ya ampun Ra-ah, kau sudah meminta maaf berkali-kali, sudah kumaafkan semua, kau mau yang kali ini tak kumaafkan?” balas Chaekyo agak kesal karena konsentrasinya terganggu.

“Tapi tetap saja aku tidak enak, onnie~ oh iya, Taemin… juga… meminta maaf pada onnie…” sambung Sungra takut-takut, apalagi saat menyebutkan nama Taemin. Chaekyo mengalihkan perhatiannya dari masakan di depannya, dan menatap Sungra lekat-lekat.

“Hei, dia tidak bisa dibilang bersalah, kau tahu? Sampaikan saja terima kasihku padanya. Satu lagi…” Chaekyo memperlebar senyuman ‘malaikat’-nya. “Soal laranganku itu, anggap itu tak pernah kuucapkan, arra?”

Mata Sungra membulat, dan sedetik kemudian senyum bocahnya pun muncul. “Jeongmal? Gomawo eonniiiiiiii~~~ saranghaeeeeee~” teriaknya heboh sambil memeluk Chaekyo dengan tangan berlumuran tepung, bekas menipiskan adonan cookie tadi.

“Ya, ya, ya, berhentilah, bajuku jadi…” kata-kata Chaekyo terputus saat ia melihat siapa yang baru saja masuk ke dapurnya. Bukan staf restoran. Bukan Jinjoo. Bukan pengunjung yang ingin komplain dengan masakannya. Itu…

“Annyeong haseyo…” sapa Sungmin ramah. Sungra langsung melepaskan pelukannya dari Chaekyo dan berbalik hingga menghadap namja itu.

“Annyeong haseyo Sungmin-ssi, ada perlu apa?” balas Sungra, meninggalkan Chaekyo yang masih agak speechless.

“Tidak apa-apa, aku hanya ingin bertemu dengan Chaekyo saja.” jawab Sungmin ringan. Sungra mengangkat alisnya, lalu bersiap pergi dari tempat itu, hitung-hitung balas dendam untuk apa yang pernah dilakukan Chaekyo padanya dulu, meninggalkannya di dapur hanya berdua dengan Taemin. Sayang sekali, Chaekyo sepertinya tahu niat buruk Sungra, buktinya yeoja itu sudah menahan tangan Sungra sebelum ia sempat kabur.

“Eonni, ini urusan kalian berdua, lebih baik aku pergi, kan?” bisik Sungra. Chaekyo menggeleng.

“Tidak. Urus dulu masakan yang ada di atas kompor.”

Sungra terpaksa menuruti perintah Chaekyo yang jelas-jelas lebih tua darinya. Yah, meski secara tidak langsung Sungra tidak akan terlibat dalam pembicaraanya dengan Sungmin, setidaknya ia tidak cuma berdua di sini, begitu menurut Chaekyo.

“Ada apa?” tanya Chaekyo.
“Mianhae.”
“Maaf kenapa?”
“Yang kemarin itu…”
“Terserah kau saja.” putus Chaekyo dingin. Bahkan Sungra sampai menoleh dari panci sup yang sedang diaduk olehnya begitu mendengar nada dingin di dalam kata-kata Chaekyo yang baru kali ini ia dengar.

“Ah, eh?” Sungmin kehabisan kata-kata untuk membalas ‘serangan dingin’ Chaekyo. “Umm, baiklah. Terima kasih, maaf mengganggu kalian…” dan bersamaan dengan itu, Sungmin berbalik lalu berjalan meninggalkan mereka berdua hingga menghilang di balik pintu dapur.

“Aigo onnie~ dingin sekali! Kasihan dia…” komentar Sungra begitu Sungmin menghilang. Chaekyo tidak mengatakan apa-apa, hanya mendekati Sungra dan menyandarkan kepalanya di bahu yeoja yang lebih muda.

“Sebentar Ra-ah, aku capek, tunggu sebentar…” kata Chaekyo sebelum Sungra sempat protes dengan kelakuannya. Ia tahu Sungra menghela napas dalam-dalam dan kembali melanjutkan memasak.

“Onnie, gwaenchanha? Onnie terlihat lesu akhir-akhir ini, benar onnie tidak apa-apa?”

“Tidak apa-apa kok…”

“Onnieee~” Sungra meletakkan sendok sup dan bergeser hingga Chaekyo terpaksa menegakkan kepalanya lagi. “Kalau onnie mau bercerita, aku bersedia mendengarnya kapan saja, kok. Hitung-hitung membantu meringankan beban onnie, kan onnie sudah cukup stres dengan pekerjaan di sini dan dongsaengdeul onnie, termasuk aku, hehehehehe…”

Mau tak mau, Chaekyo ikut tertawa saat mendengar kata-kata Sungra. “Arra, kapan-kapan, oke?”

Sungra tersenyum lebar dan kembali fokus ke masakannya. Tiba-tiba handphone yeoja itu berdering, dan ia langsung mengambilnya dari dalam saku.

“Onnie… boleh?” tanya Sungra sambil menunjukkan layar handphonenya. Ada panggilan masuk dari Taemin. Untuk sesaat Chaekyo sempat merasa sesak, tapi ia berusaha mengendalikan dirinya sendiri.

“Tentu boleh Ra-ah, apa hak onnie melarangmu?” jawab Chaekyo sambil tersenyum. Meski begitu, Sungra masih saja merasa tidak enak, hingga ia meminta izin pada Chaekyo untuk ‘menyingkir’ sebentar dan menjawab panggilan Taemin di tempat lain, meninggalkan Chaekyo sendirian di dapur.

“Permisi…”

Lagi-lagi Chaekyo menoleh ke arah pintu dapur. Itu bukan Sungra yang kembali setelah urusannya selesai. Itu… Changmin, dongsaengnya.

“Nuna, apa kabar?” tanya Changmin, basa-basi saja.
“Baik. Kau?”
“Begitulah. Umm… shift kerja Hyunjoon sampai jam berapa, ya?”
“Setahuku sekitar setengah jam lagi. Ada apa? Ingin meminta izin agar ia bisa pulang lebih cepat, lalu kalian akan pergi berkencan? Tidak boleh.”

Changmin terkekeh garing dan menggaruk kepalanya. “Bukan, tentu saja bukan. Itu… ini tentang hyung…”

Tanpa sadar, Chaekyo menghentikan gerakannya mengaduk kuah sup di panci. “Kalau soal hyungmu, aku tetap tidak mau bertemu dengannya.”
“Nuna, jebal… hyung ingin menjelaskan semuanya padamu nuna, kasihan hyung…”
“Kau kasihan pada hyungmu? Tidak denganku? Siapa sebenarnya yang jadi ‘korban’, Changmin-ssi?”
“Aku tidak begitu mengerti masalah kalian, tapi yang pasti, hyung ingin bertemu nuna. Aku tak tahu siapa ‘korban’ di antara kalian berdua, aku hanya menyampaikan ini saja. Aku harap… nuna bisa memikirkannya dan bertemu hyung untuk membicarakan semuanya.”

Chaekyo menghela nafas. Sesaknya kembali lagi. “Katakan saja pada hyungmu, aku sudah membuang cincinnya.” gumam Chaekyo cepat. “Sekarang, bisa keluar dari sini, Changmin-ssi? Pekerjaanku belum selesai.”

***

Chaekyo memasukkan masakan terakhirnya hari ini ke dalam oven, bolu gulung untuk dessert. Ia menghela napas lega dan melepaskan sarung tangan kainnya, lalu duduk di salah satu kursi sambil mengipasi wajahnya yang berkeringat karena panas. Seperti dapur pada umumnya, suhu di ruangan ini memang lebih panas daripada suhu rata-rata ruangan lain.

Chaekyo membiarkan pikirannya melayang ke masa lalu. Masa-masa saat ia masih bersamanya, saat perasaannya belum se-tidak menentu ini, saat asmanya tidak separah ini.

“Chaechagiya, aku merindukanmu…”
“Jung Chaekyo…”
“Mungkin aku belum melamarmu secara resmi, tapi tolong, simpan dan pakailah dulu cincin ini. Ini tanda kalau kau milikku, mengerti?”
“Chaechagiya! Ada kabar bagus dari agensi! Katanya sebentar lagi aku akan debut!”

Itu kalimat terakhir yang didengar oleh Chaekyo darinya langsung. Tentang rencana debutnya dengan 4 orang rekannya yang lain. Setelah itu, hanya kontak lewat telepon yang dilakukan oleh mereka, itu pun semakin lama semakin jarang frekuensinya hingga akhirnya terhenti sama sekali. Chaekyo memahami dengan baik kalau ia sedang sibuk dengan debutnya, dan tidak terlalu mempermasalahkan hal itu.

Chaekyo masih bisa bertahan dengan komitmennya, hingga suatu hari, saat ia sedang menonton televisi, muncul dia dengan keempat membernya dalam sebuah acara talkshow terkenal.

“Yunho-ssi, apa kau punya seseorang yang spesial, seperti… seorang kekasih?”
“Aku? Ahahaha… untuk saat ini tidak ada… umm… tapi mungkin bisa dibilang ada!”
“Wah, geurae? Siapa namanya, Yunho-ssi?”
“Cassiopeia adalah kekasihku! Saranghae~”

Siapa yang tidak sakit hati kalau sudah begini ceritanya? Tidak diakui sebagai kekasih oleh kekasihmu sendiri? Seingat Chaekyo, yang ia lakukan setelah itu adalah mematikan televisi dan menangis hampir semalaman. Ia masih benar-benar ingat kalau saat itu ia sempat tidak enak badan hingga berhari-hari, membuat oppa-nya kebingungan merawatnya.

Beberapa hari kemudian, ia memutuskan untuk menghubunginya duluan. Sambungan telepon pertama olehnya, dan terakhir bagi mereka berdua.

“Hei, kau bilang ‘saranghae’ ke cassie-mu? Aku cemburuuuuu~”
“Kalau ya, memangnya kenapa?”
“Aaaaah kau ini!”
“Aish, sudahlah, memangnya itu masalah besar? Bukan, kan? Kenapa harus seribut ini? Menyebalkan.”
“Ya ampun, aku kan hanya bercanda, jangan langsung marah besar seperti itu!”
“Terserah saja apa maumu. Tidak penting.”

Lebih menyakitkan atau tidak? Rasanya semua orang juga tahu apa perasaan Chaekyo saat itu. Setelah pembicaraan tidak mengenakkan itu, Chaekyo benar-benar tidak bisa menghubunginya. Nomor teleponnya tidak aktif lagi. Dan bisa dibilang hubungan mereka berakhir pada titik itu. Saat itu juga segala hal yang berhubungan dengannya terasa sangat menyesakkan. Hanya mendengar lagu grupnya atau menonton beritanya saja sudah cukup untuk membuat Chaekyo menderita. Terlalu berat untuknya.

Sesak Chaekyo kembali lagi, kali ini lebih berat, membuat nafasnya terasa pendek-pendek. Bahkan Chaekyo bisa mendengar suara aneh yang keluar dari hidungnya tiap kali ia menarik nafas.

“Permisi… Chaekyo-ah? Gwaenchanha? Kau kenapa?” begitu mendengar suara itu, Chaekyo langsung mendongakkan kepalanya. Sempat terlihat Sungmin yang setengah berlari menghampirinya.

“Kenapa menangis?” tanya Sungmin saat ia berada tepat di depan Chaekyo. Tangannya merogoh saku jaketnya, mengeluarkan beberapa lembar sapu tangan pink, dan mengusap pipi Chaekyo yang basah oleh air mata dengan salah satunya.

Chaekyo mengambil alih sapu tangan dari Sungmin dan mulai menyeka air matanya sendiri. Sementara itu, Sungmin lebih memilih mundur beberapa langkah, demi mencegah kejadian yang sama seperti semalam. Setidaknya kali ini Chaekyo mau menerima barang yang diberikan Sungmin –meski sepertinya dipaksa oleh situasi, sih.

“Chaekyo-ah, gwaenchanha? Mianhae… aku tidak bermaksud membuatmu menangis tadi malam… aku, mm, aku hanya mengkhawatirkanmu…” suara Sungmin terdengar lebih seperti membujuk Chaekyo, bukannya meminta maaf. Air mata Chaekyo tidak berhenti, justru makin menderas. Cara membujuk Sungmin benar-benar mirip dengannya, membuat yeoja itu merasa makin sesak. Ia tahu, asmanya sebentar lagi akan kambuh, tapi ia tak bisa mencegah otaknya untuk berpikir tentang dia.

“Chae? Kau sakit? Sudah minum obat?” pertanyaan Sungmin yang bernada panik tak sempat dijawab Chaekyo. Bernafas saja sulit, apalagi menjawab rentetan pertanyaan semacam itu?

“Tolong… tas… ku…” bisik Chaekyo di antara nafasnya yang tersengal-sengal. Telunjuknya agak gemetar saat menunjuk tas wajib-dibawanya, khusus berisi obat-obatan dari Hyunjoon, yang tergeletak di atas meja dapur. Sungmin langsung tanggap dan mengambil tas itu tanpa buang-buang waktu lagi.

Chaekyo mengambil inhaler dari dalam tas kecil itu, meletakkannya di depan mulut, lalu mulai bernafas melalui alat itu. Awalnya cepat dan pendek, tapi makin lama melambat dan makin teratur hingga akhirnya ia bisa bernafas secara normal. Sungmin hanya dapat memperhatikannya, terlalu takut untuk menyentuh yeoja itu, takut sesuatu yang lebih buruk akan terjadi padanya dan Chaekyo. Bagaimanapun mereka sedang berada di dapur, dan barang-barang di sekitar mereka… bisa dibilang… sangat berbahaya jika dilemparkan dan mengenai orang. Sungmin tidak mau mati konyol hanya gara-gara itu._.

“Sudah baikan?” tanya Sungmin akhirnya setelah mereka berdua diam beberapa saat. Chaekyo mengangguk canggung.

“Kamsahamnida.” gumam Chaekyo pelan. Sungmin tersenyum lebar, baru kali ini Chaekyo mengucapkan sesuatu, dalam keadaan normal, tanpa nada permusuhan, padanya.

“Kau alergi apa sampai asmamu kambuh seperti itu?” Sungmin mengedarkan pandangannya ke sekeliling untuk menemukan penyebab sesak nafas Chaekyo. “Umm, bawang merah? Cabai? Merica?”

“Debu. Dan…” Chaekyo bimbang antara mengatakan ‘penyebab’ yang satunya atau tidak. “Uhm, hanya debu.”

“Geurae? Tapi sepertinya dapur ini bersih, kelewat bersih malah.” namja itu menggosokkan tangannya di sekitar meja, dan memang tidak ada setitik pun debu di sana. Chaekyo yang (kelewat) perfeksionis tidak pernah membiarkan dapurnya kotor sedikitpun, bahkan jika Sungra atau pegawai lain menumpahkan sesuatu sedikit saja, tumpahan apapun itu, kalau sampai mengotori dapurnya, ia akan langsung marah besar.

“Memori lama juga.” entah kenapa Chaekyo justru mengatakan hal itu dengan jujurnya. “Yang menyakitkan. Semuanya.”

“Apa maksudmu?” tanya Sungmin penasaran. Chaekyo diam tidak menjawab, lalu menggeleng perlahan.

“Anniya. Sudahlah. Lupakan saja.” tolak yeoja itu, tangannya dikibaskan di depan badan. “Kau… tidak pulang? Masih ada jadwal, kan?”

Jelas-jelas Chaekyo hanya sok tahu. Ia tak pernah berminat mengikuti jadwal para artis sejak kejadian itu. Hanya membawa trauma saja. Tapi Sungmin tampak menggaruk kepalanya yang tidak gatal, seperti berpikir, lalu mengangguk enggan.

“Sebenarnya ada. Aku harus pulang sekarang.” gumam Sungmin dengan wajah malas. Entah, tapi Chaekyo merasa– campuran lega dan agak kehilangan saat Sungmin berpamitan dengannya.

“Ah, ne. Silakan.” balas Chaekyo canggung. Semakin canggung lagi saat tiba-tiba Sungmin memeluknya sekilas tanpa permisi. Rasanya seperti jantung Chaekyo berhenti bekerja selama beberapa saat, seluruh badannya kaku seketika.

“Ah~ mianhae… yang tadi itu refleks!” Sungmin langsung membungkuk berkali-kali dan meminta maaf.

“Gwaenchanha Sungmin-ssi~” padahal sebenarnya sama sekali tidak ‘gwaenchanha’.

“Jeongmal? Sekali lagi mianhae…” namja itu masih saja enggan meninggalkan dapur, lebih tepatnya, meninggalkan Chaekyo. “Ah! Chaekyo-ah! Kau jangan segan untuk bercerita denganku arasseo? Tentang penyakitmu, tentang beban-bebanmu, apapun itu yang membuatmu tidak enak badan, pokoknya ceritakan saja! Agar aku tidak bingung melihatmu yang tiba-tiba menangis, lalu saat penyakitmu kambuh… mm, kau tidak keberatan, kan?” tanya Sungmin ragu. Chaekyo menelan ludah.

“Ah, eh, sudahlah, pulang sana!” tidak mampu berpikir apa-apa lagi, akhirnya Chaekyo mengambil jalan tengah; ‘mengusir’ Sungmin dari dapurnya. “Sudah sore! Jadwalmu padat, kan? Cepat pulang! Annyeong!” teriaknya cepat sambil menutup pintu dapur tanpa mendengarkan protes dari Sungmin. Ia menahan pintu itu dengan badannya, dan setelah yakin kalau Sungmin tak mencoba memaksa masuk lagi, dia langsung jatuh terduduk. Lemas.

***

Chaekyo’s POV

“Sungra-ah, dagingnya! Tumisannya!”
“Jaemi-aaaaaah~ tolong ambilkan serbet di  lemari!”
“Pesanan untuk meja 5 sudah jadi?”

Berkali-kali aku berteriak ke para pegawai di dapur. Ribut dan ramai sekali, tapi hal ini memang biasa terjadi pada saat restoran sedang ramai, seperti saat jam makan siang ini. Dan aku juga terpaksa harus sering berteriak karena harus mengadu suara dengan ‘musik’ dari alat-alat masak dan tentu saja celotehan para pegawai. Resiko jadi head chef yang harus bertanggung jawab dengan urusan dapur -_-

“Pesanan untuk meja 1 ruang VIP!” terdengar suara Sungra disambut suara bel yang ditekan oleh yeoja itu. Anehnya, dia tak segera kembali ke ‘pos’-nya, tapi menunggu sebentar di depan jendela (?) tempat para waiter dan waitress mengambil masakan. Aku yang kebetulan bekerja di sekitar tempat itu mau tak mau bisa melihat apa yang dilakukan oleh salah satu dongsaengku yang-sangat-tidak-waras itu melalui sudut mata.

“Onnie~” Sungra sepertinya merengek ke siapapun-itu-yang-mengambil-makanan sambil menyodorkan secarik kertas. Sepertinya Raena.  Apa kebiasaan yeoja itu kembali lagi? “Ini~ berikan ke Taemin bersama makanannya, arra? Tolong katakan padanya aku sedang sibuk jadi tak bisa keluar untuk menemuinya, yayayaya~”

“Aissh Ra-ah, kau ini menyusahkan saja!” benar dugaanku, itu memang Raena.

“Onnieeee~ jebaaaaaaal~ onnie kan baik, ya kan? Aku janji akan mentraktir onnie es krim, otthe?”

“Arra, arra! Traktir aku Baskin’ Robbins, satu cone saja!” seru Raena sebelum membawa pesanan itu.

“Mwo? Baskin’ Robbins? Ya! Seumur-umur aku belum pernah makan di sana, seenaknya saja!” protes Sungra. Aish, urusan anak kecil. Tak ada gunanya kalau kudengarkan terus menerus, pikirku sambil mulai menyajikan lasagna di mangkuk dan menghiasnya sedikit, lalu meletakkan mangkuk itu di atas nampan yang penuh berisi makanan lain.

“Pesanan meja 2 ruang VIP!” seruku sambil menekan bel. Tak perlu waktu lama sampai Kyorin datang dan mengambilnya untuk disajikan. Aku kembali menyibukkan diri dengan bahan makanan lainnya yang menunggu untuk dimasak.

“Chaekyo-ah~” aku mendongakkan kepalaku. Tampak Kyorin yang melongok dari jendela dapur sambil menyodorkan selembar kertas dan… haebaragi? Lagi? Aish, pasti Sungmin-_- Aku mengambil ‘titipan’ itu dari tangan Kyorin dan berterima kasih padanya, lalu menaruh keduanya di samping kompor karena itu satu-satunya tempat kosong yang tersisa. Kukesampingkan keinginan untuk melihat isi pesan Sungmin, lebih baik fokus dengan pekerjaan dulu.

Baru serius-seriusnya memotong daun bawang, tiba-tiba aku mencium bau gosong. “Yaaaak, masakan siapa yang gosong?” tanyaku tanpa mengangkat wajah dari puluhan daun bawang di depanku. Sempat kudengar suara kasak-kusuk sebelum seseorang berteriak,

“Chaekyo-ah! Kertas di sebelahmu terbakar!”

Aku langsung meletakkan pisau dan melihat ke sekeliling, tepatnya ke sebelah kompor. Kertas Sungmin! Buru-buru kusiram sedikit air ke atas kertas itu hingga apinya padam. Sayangnya… hampir tidak ada yang terselamatkan dari kertas itu._. yang masih utuh tinggal si haebaragi. Aiyaaa, eotteokhae?

“Apa itu? Kertas penting? Pesanan pelanggan?” tanya Minwoo, si sous chef, saat mengambil daun bawang siap tumis dari mejaku

“Oh, eh, tidak, ya… tidak.” gumamku ragu. Semoga benar kalau isi kertas itu tidak penting >/\<

Takut akan ada kecelakaan untuk kedua kalinya, aku memindahkan setangkai bunga itu ke rak bahan makanan. Setidaknya di sana ia akan lebih aman dari bahaya terbakar, ya kan?

**After Lunch Time**

Aku meregangkan kedua lenganku ke atas. Jam makan siang sudah lewat sejam yang lalu dan sekarang restoran kami benar-benar sepi. Baguslah, setidaknya kami jadi punya waktu istirahat sejenak.

Kuedarkan pandangan ke sekeliling setelah sadar kalau aku sendirian di dapur. Aish, cepat sekali mereka-mereka itu perginya -_____-” mana Minwoo? Sungra? Harin? Kalau pergi juga kenapa tidak mengajakku? Aish -_-

KLEK
“Permisi, apa aku mengganggu?” refleks kutolehkan kepalaku ke arah pintu dapur. Ah, eh, dia? Bagaimana bisa?

“M-mau apa kau?” tanyaku, berusaha tetap terlihat tenang sambil mengambil satu langkah ke belakang. Kenapa di saat seperti ini makhluk-makhluk itu malah tidak ada? Huaaaaaaaaaaa!!!!!

Ia ikut maju selangkah, lagi-lagi menyamakan jarakku dengannya. Sadar tak ada gunanya jika aku mundur, akhirnya aku diam di tempat. “Kita perlu bicara.” katanya.

“Kita? Maaf, ‘kita’ itu siapa?”

“Kau. Aku. Ayolah, jangan membuatku frustasi karena harus menghadapi permainan kata-katamu itu!” desisnya gusar.

“Memangnya masih ada yang perlu dibicarakan?” tanyaku sarkastis. Ia mengangguk singkat. “Banyak, sangat banyak sekali.” cetusnya. Aku berdecak tak sabar dan mengangkat wajahku, menatapnya langsung sambil mengusahakan agar sesak nafasku tidak kembali.

“Bukannya semuanya sudah selesai? Kkeut, habis, the end, fin!” balasku cepat. lo-gue-end aja sekalian.

“Chaechagiya, banyak hal yang perlu kujelaskan, kau tahu? Aku tak bermaskud meninggalkanmu tanpa alasan, gila saja!” intonasinya meninggi. Bagus, aku bisa membalasnya dengan lebih kejam kalau begitu, meski sempat kehilangan nafas saat ia mengatakan ‘Chaechagiya’ tadi.

“Terserah. Jelaskan saja semuanya. Aku toh tak akan mendengarkannya. Dan jangan pernah panggil aku ‘Chaechagiya’ lagi! Aku bukan chagiyamu! Apa Changmin belum mengatakan padamu kalau cincin itu sudah kubuang?” ia tampak kebingungan mendengar debat panjangku.

“Membuang cincin belum berarti segalanya sudah berakhir, kan?”
“Untukku, sudah.”
“Kau bercanda!”
“Sama sekali tidak.” putusku cepat. “Kalau kau mau menjelaskannya, sudah terlambat. Itu salahmu sendiri!”

“Saat itu aku sama sekali tak bermaksud untuk memutuskan komunikasi denganmu.” sudah kuancam juga ia masih berkeras bicara. Biar sajalah. “Kau tahu? Agensi tidak memperbolehkan artis-artis yang baru debut untuk memiliki kekasih. Mereka memaksaku untuk ‘menghilang’ dari jangkauanmu, dengan alasan tidak ingin menimbulkan berita yang tidak-tidak saat umur debutku masih seumur jagung. Aku juga menderita saat itu, tidak tahu apa kabarmu, apa yang sedang kau lakukan, sedang di mana… lalu soal pembicaraan lewat telepon yang terakhir itu… moodku sedang jelek saat itu. Ditambah lagi setelah itu, Donghae yang terkenal suka merusak barang langsung meminjam handphoneku, saat ia mengembalikannya tahu-tahu benda itu hang, jadi…”

Kubiarkan ia menceritakan apapun itu yang disebutnya alasan. Alasan macam apa itu? Menyalahkan orang lain untuk rusaknya handphone sendiri? Lalu, memangnya dia tak hafal nomorku? Begitu? Kentara sekali kalau terlalu dibuat-buat –alasan itu, maksudku.

“Sudah selesai?” tanyaku begitu segala rentetan kata-katanya berhenti. “Sudah, kan? Kalau begitu sekarang kau bisa pergi. Lihat itu? Pintunya ada di belakangmu. Silahkan.”

“Chaechagiya, kembalilah…” gumamnya. Bagus. Sesakku kembali lagi. Ayo Chaekyo, tahanlah…

“Kau merindukanku, aku tahu. Jangan berbohong.” katanya sambil menatapku lurus-lurus. Langsung saja aku menundukkan kepala agar ia tak bisa membaca ekspresi mataku. Terlalu berbahaya.

“Anniya.” jawabku cepat di tengah nafasku yang semakin memburu. Jangan sekarang, jebal!

“Geottjimalyo. Kembalilah Chaechagiya…”

“Kubilang… tidak…” aku butuh inhalerku. Benar-benar butuh. “Pergilah. Keluar dari ruangan ini. Jangan menemuiku lagi. Sudah cukup!”

Sungmin’s POV

Kuurungkan niatku untuk masuk ke dapur saat melihat Yunho dan Chaekyo yang sepertinya sedang terlibat dalam satu percakapan serius. Tapi aku tak bisa menahan keinginanku untuk menempelkan telinga di pintu demi mendengar pembicaraan mereka, yang sayangnya tidak bisa kudengar karena sepertinya pintu itu kedap suara. Akhirnya aku hanya bisa mencuri lihat lewat kaca di bagian atas pintu dapur.

Raut wajah dua orang itu terlihat sangat emosi sekali. Ada apa ini? Tak mungkin sekadar protes tentang rasa masakan. Pasti ada sesuatu yang lain.

Aku seperti melihat Chaekyo membentak Yunho hingga namja itu mundur beberapa langkah. Setelah itu, ia menuding ke arah pintu –refleks membuatku langsung pergi dari tempatku berdiri dan bersembunyi di balik belokan terdekat dengan dapur, tetap mengintip. Beberapa saat setelah itu, pintu dapur mengayun terbuka dan aku bisa melihat Yunho keluar dengan wajah tidak rela, dan ia berjalan meninggalkan dapur ke bagian depan restoran lagi.

Setelah merasa cukup aman, aku beranjak dari tempat persembunyianku dan kembali ke depan pintu dapur. Tanpa basa-basi maupun melongok lewat kaca, segera saja kudorong daun pintunya dan masuk ke dalam. Hal pertama yang kulihat adalah… Chaekyo. Menyandarkan pinggangnya di counter dapur. Kepalanya menunduk dan sesekali ia menyeka matanya dengan tisu. Jangan bilang Chaekyo menangis lagi!

“Gwaenchanha?” tanyaku pelan setelah aku berhenti di depannya. Ia mengangkat wajahnya, lalu kembali menunduk.
“Kau melihatnya tadi?” tanya Chaekyo. Aku mengangguk. “Maaf, bukannya bermaksud tidak sopan, hanya saja…”
“Tak apa.” ia membersit hidungnya lalu membuang tisu bekas ke tempat sampah. “Tidak apa-apa. Asal kau tidak memberi tahukannya kepada para reporter saja.”
Mau tak mau aku tertawa untuk alasan kesopanan. “Tidak akan. Apa gunanya?”

Chaekyo seperti tak mendengar kata-kataku barusan. Pandangannya seperti menerawang ke langit-langit dapur yang rendah. “Hei.” katanya dengan suara pelan. “Kalau seseorang, katakanlah dia masa lalumu, mengajakmu untuk mengulang semuanya yang terlanjur rusak, bagaimana? Apa yang akan kau lakukan?”

Aku berusaha mencerna arti kalimat Chaekyo yang… uhm, cukup dalam. Baru setelah beberapa menit aku berhasil memahami maksud kalimat yeoja ini.

“Misalkan seperti itu… tergantung seberapa rasa sakit, seberapa banyak ‘kerusakan’ yang sudah terjadi, dan… umm, mungkin, bagaimana perasaanku saat ini padanya.” jawabku sambil melirik Chaekyo. Aku rasa ‘masa lalu’ yang dimaksud Chaekyo itu Yunho, sepertinya. “Kau sendiri, sebenarnya ingin kembali atau tidak?” tanyaku, berharap ia akan mengatakan tidak. Sekedar ‘tidak tahu’ saja sudah cukup bagiku.

“Molla. Aku sudah capek sebenarnya. Kau tahu kan apa salah satu penyebab asmaku kambuh? Memori lama yang menyakitkan? Itu salah satunya. Aku ini tipe orang yang sekali trauma, maka lukanya akan membekas lamaaaaa~ sekali. Intinya, sulit dihilangkan.” ia menghembuskan nafas panjang sambil meluruskan lengannya. Sepertinya sedang berusaha menenangkan diri.

“Omong-omong, kau sudah baca kertas dariku tadi?” tanyaku, mencari topik baru. Ia berhenti meregangkan badannya dan menatapku dengan tatapan… umm, susah dijelaskan… tapi sepertinya campuran kaget dan bersalah.

“Yang bersama haebaragi tadi?” tanyanya. Aku mengangguk. Ada apa lagi?

“Mianhae~ kertasnya tadi terbakar, apa isinya penting?” katanya takut-takut. Aku langsung lemas seketika. Isi kertas itu memang hanya satu kata, tapi… tapi…

“Tidak apa-apa.” aku berhasil memaksakan senyum di wajahku dan membelai rambutnya pelan. “Umm… soal isinya, tidak begitu penting, kok.”

Senyumnya –yang sangat kusukai– mulai merekah. Untuk pertama kalinya ia tersenyum se-ikhlas itu di depanku, dan itu membuatku agak… err, salah tingkah. “Jeongmal? Ah, ne~ berita baiknya, si haebaragi selamat~” katanya sambil mengambil setangkai haebaragi yang tadi kuberikan padanya lewat salah satu waitress di sini, dan menunjukkannya padaku dengan senyum bangga.

“Geurae? Syukurlah, kekekekeke~” tak tahu harus berkata lagi, aku hanya tertawa –canggung.

Kami diam beberapa menit. Ia tampak memainkan tangkai bunga di genggamannya sementara aku terlalu bingung untuk memulai pembicaraan. Sebenarnya banyak topik yang bisa kami bicarakan, tapi… aku punya satu pertanyaan yang (kurasa) jauh lebih penting ketimbang berapa puluh topik pembicaraan.

“Chae-ah, boleh aku minta nomor handphonemu?” akhirnya kukatakan juga. Aku tahu ia kaget, terlihat dari reaksinya yang langsung menjatuhkan haebaraginya.

“Ah, eh? Nomor telepon?” tanyanya dengan wajah kaget sambil menerima bunga yang kusodorkan kembali ke genggamannya. “Umm, err, ya sudahlah… kemarikan handphonemu.” gumamnya, agak ragu. Aku menarik ponselku dari saku dan menyerahkannya ke Chaekyo yang menerimanya dengan (masih) ekspresi ragu.

“Kalau kau tidak mau, ya, tidak apa-apa. Aku tidak memaksa, kok.” tambahku cepat-cepat. Chaekyo menggeleng sekilas dan langsung mengetikkan sebaris nomor di layar ponselku.

“Ini. Kalau tidak percaya, telepon saja sekarang.” Chaekyo meletakkan kembali benda itu di  telapak tanganku. “Cobalah.”
Aku menuruti perintahnya, kutekan tombol ‘Call’ di benda itu. Tak perlu menunggu lama sampai terdengar nada dering ponsel seseorang –yang berani taruhan, pasti milik yeoja di depanku ini. Ia merogoh saku baju kerjanya, mengambil ponselnya, lalu memperlihatkannya kepadaku. Layar ponsel itu menunjukkan sebaris nomor yang kukenal baik. Baguslah, berarti yeoja ini tidak berbohong.

Selesai menyelesaikan urusan dengan ponselku dan nomor handphonenya, kulirik Chaekyo yang sepertinya juga sedang sibuk dengan ponselnya. Atau hanya pura-pura sibuk? Molla.

“Ah, eh, Chae-ah, berhubung setelah ini aku ada jadwal, umm…”

“Pulanglah.” potong Chaekyo cepat sambil berbalik dan kembali ke masakannya yang belum tersentuh.

“Mwo? Hei, kau mengusirku?” protesku sambil menggembungkan pipi.

“Kau sendiri yang bilang kau sedang sibuk. Kalau memang sibuk ya pulang saja, tidak usah kebanyakan main! Urus dulu pekerjaanmu!” dasar perfeksionis. Setahuku, kata Raena, dia juga suka mengatur. Ini contohnya, ya?

“Arra. Aku mengerti. Aku pulang sekarang… annyeong, gomawo…”

“Ah, ne, jal…” Chaekyo seperti ragu-ragu antara ingin meneruskan kalimatnya atau tidak. “Jalggayo…”

Aku berhenti. Tanpa sadar ujung bibirku sudah tertarik hingga membentuk senyum tipis. “Ne. Neodo.” gumamku padanya sebelum menutup pintu dapur perlahan, meninggalkannya yang kembali sibuk dengan pekerjaannya.

—–

Author’s POV

Sungmin mengusap peluh yang membanjiri keningnya setelah performance-nya hari ini. Stage terakhir dengan Heechul sebelum member tertua kedua itu melakukan tugas negaranya, dan tadi hampir saja Sungmin tak bisa menahan air mata di atas panggung saat mendengar fanchant dari ELF yang menonton penampilan mereka. Terharu. Tapi sudah cukup Kyu dan anak-anak lainnya saja yang berkaca-kaca –hingga menangis, untuk Kyu–, ia, sebagai si anak tengah, harus bisa mengontrol  emosinya. Urusan tangis-tangisan bisa dilakukan di dorm… atau di sini.

Dari sudut matanya, di antara kerumunan beberapa member lainnya, Sungmin tahu, Heechul sedang berusaha keras menahan air matanya agar tak jatuh ke pipi. Kadar gengsi makhluk satu itu memang kelewat tinggi, kalau tidak mau dibilang ia malu bila ketahuan menangis. Sementara itu, beberapa orang yang sedang mengerumuni Heechul –Kyu, Jungsoo, Donghae, Donghee– jelas-jelas terlihat sedang menangis di dekat si Cinderella. Bagaimanapun perpisahan memang memberatkan, mau dibuat seringan dan semenyenangkan apapun… tunggu, memangnya ada perpisahan yang menyenangkan?

Lamunan Sungmin terputus oleh suara dering ponselnya yang tergeletak sembarangan di atas salah satu meja rias. Malas-malasan, ia langsung mengambilnya sebelum member lain merepet sana-sini karena sebal mendengar suara ribut ringtone telepon genggam di sekitar mereka.

“Eh?”

Tidak mempedulikan suasana mellow dan galau di sekitarnya, Sungmin terkekeh sendirian di pojok ruangan. Hanya karena ada pesan dari seseorang. Satu orang yang sama sekali tak pernah ia perkirakan akan menghubunginya, terlebih lagi, ia belum sempat menghubungi orang itu sama sekali.

Yah, siapa lagi kalau bukan Kwan Chaekyo?

From: Chae
Jangan bilang kau menangis di balik kacamata hitammu!

Seandainya Sungmin tahu apa latar belakang di balik pesan Chaekyo, mungkin ia akan agak kesal alih-alih senang. Bukan, bukan karena sebenarnya yang mengirim pesan itu Raena atau Hyunjoon atau Sungra via ponsel Chaekyo, pesan tadi murni hasil ‘karya’ yeoja itu. Tapi…

—–

**Restaurant, 17.00 p.m. KST**

“Ya ampun, Raena eonni, lihatlah! Namjamu menangis di tengah performance, aigooooooo~ memalukan sekali!” terdengar suara ribut Sungra dari  area makan pengunjung. Maklum, jam segini restoran memang biasanya sepi, dan kali ini tidak ada orang sama sekali di sana, jadi para pegawai bisa bebas berleha-leha sesuka mereka di tempat itu… termasuk menonton TV yang menganggur. Begitu mendapat kesempatan break itu Raena langsung memindahkan channel TV ke SBS, hari ini ada Inkigayo dan dia tahu persis Kyuhyun-nya akan tampil hari itu. Tapi ternyata yang didapatinya hari ini adalah wajah-wajah muram para member di atas stage.

“Ya! Itu wajar! Hari ini stage terakhir mereka bersama Heenim, bagaimana mungkin mereka tidak sedih? Dasar hati batu!” bela Raena, kesal namjanya dilecehkan begitu saja oleh dongsaengnya.

“Aiyaaa~ Yesung, Eunhyuk, Ryeowook dan Sungmin biasa saja, kok! Heechul yang mau wamil saja bisa menahan tangis, bagaimana sih?” tambah Hyunjoon. Tumben sekali hari ini dia berada di sisi Sungra.

“Yesung memang aneh, makanya ia bisa tak menangis! Persetan dengan 3 orang lainnya, siapa tahu air mata mereka sudah kering di dorm! Dan lagi, si Sungmin itu~ dia kan pakai kacamata hitam, siapa tahu dia juga menangis di balik kacamatanya?” bantah Raena. Chaekyo yang mendengar ribut-ribut tak penting itu langsung berjalan keluar dari dapur dan menghampiri ketiga dongsaeng ‘gila’nya.

“Ya! Ya! Kalian ini bukannya kerja malah ribut di depan, kalau ada pengunjung datang bagaimana? Memalukan saja!” entah kenapa, sepertinya Chaekyo sudah tertular sifat cerewet Jinjoo.

“Habisnya Sungra dan Hyunjoon~” rajuk Raena.
“Lah, aku kan mengatakan kenyataannya! Si Kyuhyun babo itu memang menangis kan? Ya kan?” protes Sungra, tak terima ia disalahkan. Hyunjoon sendiri sepertinya sudah tak mau ikut campur dengan urusan dua orang itu lagi.

“Hei, tapi itu wajar!”
“Wajar dari mana? Si Hyukjae yang super cengeng saja tak menangis! Sungmin juga!”
“Apa kau bilang? Hyukjae cengeng? Kukatakan ke Ayako baru tahu rasa! Lagipula Sungmin bisa saja menangis!”

Mendengar nama namja yang beberapa hari terakhir ini sering ‘mengganggu’nya, Chaekyo langsung mengarahkan pandangan ke layar TV. Saat itu lagu sudah sampai di solo part Sungmin, dan Chaekyo bisa melihat dengan jelas kalau si Mr. Haebaragi itu memakai kacamata hitam tebal. Langsung timbul pertanyaan di benak Chaekyo. Apa makhluk itu menangis? Mau seperti apa juga mungkin saja, kan?

“Hoo, eonni kenapa melamun? Bertanya-tanya apa Sungmin menangis atau tidak ya?” suara Hyunjoon yang tiba-tiba terdengar langsung menyadarkan Chaekyo dari lamunannya. Chaekyo menggeleng.

“Anniya! Untuk apa?” bantah Chaekyo, meski dalam hati ia mengamini kata-kata Hyunjoon.

“Kalau penasaran, SMS saja eonni~ memangnya tidak boleh? Hahahaha…” tawa Sungra meledak, sepertinya puas sekali berhasil meledek eonni-nya itu. Chaekyo melengos dan kembali ke dalam dapur, malas menanggapi ledekan Sungra.

TAP TAP TAP

Chaekyo menoleh. Raena yang baru saja menepuk pundaknya tersenyum lebar ke arah yeoja itu. Ralat, kelewat lebar, lebih mirip seringaian. Perasaan Chaekyo langsung berubah tak enak.

“Kangen dengan Sungmin, ya?” tanya Raena to the point. “Sah-sah saja kok kalau kau menghubunginya. Sudah punya kontaknya kan?” Raena menjulurkan lidahnya dan mengedipkan sebelah mata sebelum kembali ke ruang pengunjung lagi, meninggalkan Chaekyo yang masih terdiam di tempatnya. Freeze.

“Yaaaak, Chae-ah, jangan berhenti di tengah jalan!” Jinjoo mendorong Chaekyo ke samping sambil berjalan cepat menuju ruang pengunjung, sepertinya akan menegur para pegawai di sana… atau ikut ribut? -_-

Chaekyo masih diam di tempatnya. Kata-kata Raena barusan masih saja terngiang-ngiang di telinganya. Sah-sah saja kok kalau kau menghubunginya… tapi gengsi Chaekyo terlalu besar untuk memperbolehkannya melakukan hal itu. Tapi… tapi…

Seharusnya yang kuatlah yang menang, tapi ternyata setitik rasa penasaran dalam benak Chaekyo bisa mengalahkan gengsinya yang setingi Namssan Tower. Atau mungkin rasa penasaran itu sudah berkembang banyak dan bercampur dengan simpati? Entahlah. Yang Chaekyo tahu, beberapa menit setelah itu ia mendapat laporan di ponselnya kalau pesan untuk Sungmin sudah terkirim.

—–

Kembali ke Sungmin.

Sekarang namja itu sedang duduk di pojokan sambil tersenyum-senyum tidak jelas sambil memandangi ponselnya, macam remaja labil yang sedang membaca pesan dari orang yang disukainya. Memang itu yang sedang dilakukannya, tapi sayang sekali, Sungmin sudah bukan remaja lagi… meski tetap labil, sih.

Setelah beberapa saat mengamati pesan di layar ponselnya, Sungmin baru sadar kalau ia tidak akan mengalami kemajuan apa-apa kalau hanya memandangi ponselnya seperti orang bodoh tanpa membalas SMS Chaekyo. Jadi ia mulai memberanikan diri mengetikkan pesan untuk yeoja itu, tak peduli akan dibalas atau tidak.

To: Chae
Mwo? Tentu saja tidak! -______-“

“Ya, ya, ya, kau ini kenapa? Tenangkan dulu teman sekamarmu di sana itu, dia tak bisa berhenti menangis dari tadi, menyebalkan.” Yesung menepuk kepala Sungmin pelan, membuat orang itu menengadahkan kepalanya dan menatap Yesung kesal.

“Yak! Hyung mengganggu! Pergi sana!” bentak Sungmin. Yesung menaikkan alisnya tinggi-tinggi.

“Apa lagi kali ini? Biar kutebak, apa gadis mataharimu itu menghubungimu? Ia sudah dekat denganmu? Aaah, pasti bukan.” salah satu dari 3 lead vocal itu mengedikkan bahunya.

“Namanya Chaekyo, hyung.” desis Sungmin tajam.
“Yah, terserahlah. Jadi, apa?”
“Bukan apa-apa. Hanya SMS.”
“Setidaknya itu bisa dibilang ‘kemajuan’, kan?”

Sungmin menghela napas. Terlalu cepat kalau disebut kemajuan.
“Hyung, berikan ini ke Kyuhyun.” Sungmin berusaha mengalihkan perhatian Yesung dengan menyodorkan sekotak tisu ke tangan hyungnya itu.
“Mwo? Tisu? Di sana juga banyak!”
“Aissh, sudahlah! Sana, pergi!”

—–

Chaekyo’s POV

**Kwan’s House, 10.30 p.m.**

Aku menatap layar ponselku kesal. Tadi siang tiba-tiba ponselku dihujani SMS. Bukan dari Raena, Sungra, Hyunjoon, atau pegawai lainnya. Juga bukan dari Sungmin. Tapi dari Yunho. Aku sendiri bingung dari mana dia mendapat nomor ponselku yang baru, berhubung setahuku dia hanya mengetahui nomor ponselku yang lama. Terpaksa tadi sepanjang sore aku mematikan ponselku, sambil berusaha memblokir orang itu agar tak bisa menghubungiku lagi, dan aku baru mengaktifkan ponselku setelah berhasil memblokirnya. Mengganggu saja. Aku serius soal tak ingin kembali, untuk apa? Agar dia bisa mencampakkanku lagi? Yang benar saja. Lebih baik aku menuruti omongan ketiga dongsaengku itu!

Drrt… drrt…

Aiya~ ada apa lagi ini? Awas kalau sampai yang meneleponku di…

Lee Sungmin Calling…

Tanpa pikir panjang, aku menekan tombol answer dan menempelkan ponselku di telinga. Aku sedang suntuk, butuh teman bicara, dan beginilah hasilnya._.

“Yeobosaeyo?”
“Yeobosaeyo, Chae-ah? Aku mengganggu? Kau sudah tidur?”
“Anniya. Ada apa?”
“Hoo, syukurlah. Itu… lihatlah keluar jendela…”

Eh? Apa maksudnya?

“M-Mwo?”
“Tidak usah banyak tanya~ lihat saja~” kata Sungmin. Tanpa memutuskan sambungan, aku bangkit berdiri dari kasur dan berjalan menuju jendela kamarku yang tidak bertirai, dan melihat keluar, mencari-cari apa yang dimaksud oleh Sungmin. Memangnya ada apa? Di luar gelap begitu, tidak terlihat apa-apa-_-

“Chae-aaaaaaaah!”

Aku langsung mencari sumber suara sambil menjauhkan ponsel dari telinga. Dan… itu dia! Eh? Tidak ada penyamaran sama sekali? Cari mati, ya?

Begitu sadar kalau aku sudah ‘menemukan’nya, Sungmin langsung melambaikan tangannya ke arahku sambil tersenyum dan menampakkan dua gigi kelincinya itu. Aish-_-

Aku langsung keluar kamar dan turun ke bawah, menuju pintu utama tanpa mempedulikan tatapan heran Jinjoo oppa melihat adiknya yang terburu-buru keluar malam-malam begini. Setelah memakai sandal seadanya, kubuka pintu itu dan aku menghambur keluar dari rumah, berjalan-separo-berlari ke arah Sungmin yang langsung melebarkan tangannya, minta dipeluk. Dan…

BLETAK!

“Appo!!!”
“Kau bodoh! Mana penyamaranmu? Mau dikerubuti wartawan? Untung daerah sekitar rumahku sepi dan ini sudah malam, coba kalau tidak, kau mau apa?” omelku. Ia menatapku bingung dari atas ke bawah, lalu tersenyum geli.

“Kau mengkhawatirkanku?” cetusnya langsung. Aku terdiam. Aku? Mengkhawatirkannya?

“Dalam mimpimu!” kataku sambil bersungut-sungut. Sungmin mengangkat bahu, tapi senyum gelinya tetap tak lepas dari bibir.

Kami diam beberapa lama. Sungmin masih saja senyum-senyum tidak jelas, seperti idiot saja. Atau mungkin dia memang idiot? Siapa tahu, kan?

“Kau kenapa tidak membalas pesanku?” tanyanya tiba-tiba.
“Pesan? Yang mana?”
“Yang setelah kau menanyakan aku menangis atau tidak itu…”

Aku mengingat-ingat kembali. Memangnya aku pernah mengirimkan pesan berisi pertanyaan itu? Oh, tunggu, tunggu, itu sepertinya sebelum Yunho menggangguku lewat SMS. Yah, maklum saja sih kalau belum dibalas…

“Mian, tadi ponselku kumatikan…”
“Wae?”
“Ah, itu, baterainya kosong, dan aku tidak bawa charger, hehehehe…” aku memaksakan tawaku hingga terdengar amat-sangat garing sekali. Kelihatan sekali kan kalau aku sedang berbohong?
Sungmin menatapku dengan tatapan menyelidik. Aish, pasti dia tak percaya-_-

“Geurae? Ya sudahlah. Tapi lihat ini…” ia menunjuk kedua matanya. “Tidak sembap sama sekali, kan? Aku tidak menangis tadi, kekekeke~” kekehannya terdengar jelas. Entah kenapa aku jadi ikut tertawa bersamanya. Kurasa tawanya itu menular.

“Itu saja?” tanyaku setelah tawaku mereda.
“Maksudmu?”
“Kau ke sini hanya untuk mengatakan kalau kau tidak menangis tadi? Astaga, memangnya itu sepenting a…” aku berhenti bicara. Nafasku tertahan saat Sungmin menarikku ke dalam bear-hug-nya. “…pa?”

“Bogoshippeo.” bisiknya di atas kepalaku. Pelan, tapi masih terdengar. Aku rasa tenggorokanku jadi makin sesak sekarang.
“Ah, eh, ah…” tanpa sadar kudorong badan Sungmin dengan kedua tanganku hingga tercipta jarak yang cukup jauh di antara kami. Ekspresi wajah Sungmin berubah bersalah setelah  aku bereaksi seperti itu.

“Chae-ah? Mianhae, aku tidak bermaksud…”
“Gwaenchanha, gwaenchanha.” aku segera mengibaskan tanganku di depan wajah, tanda aku tak apa-apa. “Harusnya aku yang minta maaf karena mendorongmu tiba-tiba.”

Sungmin mundur selangkah, lalu menurunkan tas ransel yang disandangnya di pundak. Entah apa maksudnya, aku diam saja sambil tetap memperhatikan gerak-geriknya. Ia tampak membuka tas itu, mencari-cari sesuatu, dan menariknya keluar begitu mendapatkan benda itu. Tak butuh waktu lama bagiku untuk mengenali benda yang tadi dicarinya, benda itu sudah cukup familiar denganku belakangan ini –bunga matahari.

“Ini untuk hari ini.” Sungmin menyodorkan setangkai bunga itu padaku. “Maaf kalau sudah agak layu, aku membelinya sebelum performance tadi. Dan maaf juga kalau bentuknya sudah tidak karuan, ranselku penuh… err, titipan anak-anak. Jadi… yah, kau tahu sendiri, kan?” katanya, tangannya menggaruk tengkuknya yang (sepertinya) tidak gatal.

“Gomawo…” aku mengambil bunga itu dari tangannya. Sungmin masih saja menatapku, membuatku agak… grogi? Salah tingkah? Semacam itulah. Aku berusaha mengalihkan perhatian dengan cara memainkan puluhan kelopak bunga matahari di tanganku.

“Kau tahu kenapa aku memberimu bunga matahari, bukan bunga yang lain?” tanya Sungmin tiba-tiba. Aku menggeleng bingung. Bagaimana mungkin aku tahu apa yang ada dalam pikirannya saat memberiku bunga? Memangnya aku peramal?

“Kau ingin tahu tidak?” terdorong rasa penasaran, aku mengangguk kecil. Masih dengan mulut terkatup, bingung hendak mengatakan apa.
Sungmin menarik bunga matahari di tanganku. “Kau tahu tidak apa yang ‘berbeda’ dari bunga matahari?”
“Bunga matahari… selalu mengikuti arah di mana matahari berada, kan?”
“O! Anak pintar~” ia mengacak rambutku hingga benar-benar berantakan.
“Ya!” protesku sambil berusaha merapikan rambutku. Menyebalkan-_-

“Kau, adalah dia.”
“Mwo? Ulangi?” aku menghentikan kegiatan tanganku dan ganti menatapnya heran.
“Kau,” ia menunjukku. “Adalah dia.” tangannya ganti menunjuk bunga matahari di genggamannya.
“Maksudmu? Aku tidak mengerti…”

“Kalau kau bunga matahari,” ia mengembalikan bunganya kepadaku. “Maka, aku harap, akulah yang menjadi mataharimu. Jangan melihat ke arah yang lain, kau harus menepati janjimu sebagai bunga matahari yang hanya menghadap ke mataharinya saja. Lihatlah aku Chaekyo-ah…”
Aku terdiam. Aku mengerti apa maksud pembicaraannya. Aku bisa menebak apa yang akan dilakukan, ani, minimal dikatakan olehnya setelah ini. Apalagi dengan sorot mata seriusnya itu, berbeda dari Sungmin yang biasanya menggangguku di dapur restoran.
“Kurasa kau sudah cukup mengerti apa maksudku. Saranghae, Kwan Chaekyo.”

Diam. Salah tingkah. Agak sesak sedikit. Ah, nafasku mulai tersengal. Ini… aku…

“Jangan terlalu dipikirkan Chae-ah, nanti asma-mu kambuh lagi. Tidak perlu terburu-buru. Aku hanya ingin mengatakan itu saja, kok, tidak menuntut jawaban sama sekali.” aku rasa Sungmin tahu kalau asmaku mulai kambuh. “Nah, sekarang, pulanglah. Ini sudah malam. Kau butuh istirahat.” perintahnya. Ia sendiri sudah kembali menyandang ranselnya yang tadi tergeletak di trotoar.

“Sungmin-ah…”
“Ne?”
“Mianhae, kalau menyangkut soal itu… aku masih bingung… jadi, untuk jawabannya…”
“Hei, kan aku sudah bilang, aku tidak meminta jawabanmu, kok. Bukan meminta, tapi menunggu. Selama apapun itu, akan terus kutunggu. Pikirkan dulu semuanya, arra?” sekali lagi ia mengacak rambutku sekilas. “Tapi… kalau bisa… beri aku kesempatan, ya?”

Aku menatapnya kaget. Ia langsung tersenyum, campuran tidak enak dan canggung.
“Bercanda. Terserah padamu saja. Aku… pulang dulu…” pamitnya sambil menunduk sekilas, lalu berbalik dan berjalan menjauh dariku. Sempat kulihat ekspresi wajahnya yang agak kecewa, mungkin karena aku tak langsung memberinya jawaban.

“Eh, Sungmin-ah!” panggilku. Ia berhenti dan menoleh sedikit.
“Jal… jalggayo…” aku melambaikan tangan canggung. Ia tersenyum lebar dan balas melambai.
“Ne! Neodo! Annyeong~”

Terima kasih karena kau mau jujur tentang perasaanmu. Soal perasaanku… biarkan aku memikirkannya baik-baik dulu, biarkan hatiku menentukan pilihannya sendiri, dan aku harap kau bersabar sambil menungguku. Memang aku rasa aku akan memberimu kesempatan, tapi sepertinya, aku tidak akan terlalu terburu-buru. Kau sendiri yang menyuruhku begitu, kan? Aku masih sedikit trauma, dan aku harap, kau bisa menyembuhkan rasa takut dan sakitku itu, Lee Sungmin.

FIN

MAKASIH SUNGRAAAAA!! XD